Sabtu, September 25, 2010

Peristiwa 10 November 1945

Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

Kronologi penyebab peristiwa

Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia

Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1945, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya

bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kedatangan Tentara Inggris & Belanda

Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.


Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya

Hotel Oranye di Surabaya tahun 1911.

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.

Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.

Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.


Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak

Mobil Buick Brigadir Jenderal Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio dan Jembatan Merah Surabaya

Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:

"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby).

Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ... "


Ultimatum 10 November 1945

Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal ini bagi banyak orang yang terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa perjuangan revolusi utama Indonesia saat itu.

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.

Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal mupun terluka.

Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris. Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) shingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.

Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. . Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

Cerita Lain Yang belum pernah Terungkap Versi Soemarsono (Wawancara oleh Dahlan Iskan)

Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya (1)
Selamatkan Bung Tomo dari Amuk Pemuda

Saya tidak menyangka kalau tokoh ini masih hidup. Bahkan, masih segar bugar. Dia lahir pada 22 September 1921 yang berarti kini sudah berusia 88 tahun. Bicaranya masih sangat bersemangat dan ingatannya masih luar biasa tajam. Dia tidak pernah diwawancarai wartawan, setidaknya karena dua hal. Pertama, selama 35 tahun masa Orde Baru tentu tidak ada wartawan yang berani mewawancarainya. Kedua, dia memang jarang bergaul di depan umum. Ini karena sepanjang hidupnya dulu dia hampir selalu berada di penjara. Kalau toh waktu itu sedang di luar penjara, dia tidak berani menggunakan nama aslinya.

Dan, 22 tahun terakhir, setelah keluar dari penjara, dia memilih tinggal di Sydney, yang membuatnya semakin jauh dari ingatan orang Indonesia. Apalagi, dia juga lantas menjadi warna negara Australia. Tinggal dialah tokoh utama pertempuran Surabaya pada 1945 yang masih hidup. Yang menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan itu. Selama ini kita hanya menyanjung-nyanjung tokoh seperti Bung Tomo atau Roeslan Abdoelgani. Padahal, yang satu ini adalah ketuanya dua orang itu. Bahkan, Bung Tomo pernah minta kepada dia agar diselamatkan nyawanya. Yakni, ketika Bung Tomo ditangkap para pemuda karena dianggap melanggar disiplin perjuangan.

Dia yang kita bicarakan ini tentu tokoh yang amat terkenal kala itu. Namun, namanya tidak masuk buku sejarah. Bahkan, tidak pernah lagi disebut-sebut orang, entah sudah berapa puluh tahun. Namanya pendek: Soemarsono. Bisa dipanggil Marsono, Mar, atau bahkan Son saja. Dia juga pernah punya banyak nama samaran: Samio dengan pangkat sersan atau Setia dengan pekerjaan guru. Bergantung pada siapa yang sedang menangkapnya. Dia sendiri secara resmi pernah punya pangkat mayor jenderal (tituler) yang diberikan oleh Bung Karno.

Begitu mendengar bahwa orang ini masih hidup, saya langsung berusaha mencari dan menemuinya. Awalnya tentu saya harus mencari orang yang tahu alamat lengkapnya di Sydney. Saya bertekad ingin ke sana khusus untuk menemuinya. Tapi, ketika saya sedang menelusuri alamatnya itu, saya mendengar selentingan bahwa dia lagi di Jakarta. Lagi menengok anaknya. Saya pun bergegas ke Jakarta pekan lalu. Sebelum Marsono keburu balik ke Sydney. Pagi itu juga saya bisa diterima di rumah anaknya di bilangan Bintaro. Salah satu dari enam anaknya memang tinggal di perumahan kelas menengah itu. Putrinya ini seorang dokter gigi yang kawin dengan seorang fund manager. Dialah anak yang praktis dibesarkan hanya oleh ibunya, karena sang ayah lebih banyak ‘’sibuk” masuk penjara.

Hampir lima jam saya bicara dengan Soemarsono. Tentu, saya menanyakan banyak hal. Mulai pertempuran Surabaya sampai ke soal Peristiwa Madiun yang menewaskan banyak sekali keluarga saya. Ya! Soemarsono juga tokoh utama dalam Peristiwa Madiun 1948 yang amat terkenal itu. Jabatannya dalam struktur pemerintahan yang dipimpin Musso dan Amir Syarifudin itu sangat tinggi: gubernur militer. Dalam kesempatan lain saya akan menulis khusus mengenai bagaimana Soemarsono memimpin peristiwa Madiun kala itu. Soal pertempuran Surabaya sendiri dia masih ingat sampai ke soal detail-detailnya. Penjelasannya sangat rinci, dengan warna-warna yang kaya dan tanpa pretensi agar dia diakui sebagai pahlawan utama pertempuran Surabaya. ”Saya tidak ingin ada orang yang dipahlawankan dalam pertempuran Surabaya itu,” kata Soemarsono ketika saya tanya mengapa dia tidak mau menonjolkan diri. ”Pahlawan sebenarnya adalah rakyat,” tambahnya.

Tapi, mengapa Bung Tomo begitu populer sebagai tokoh pertempuran Surabaya? Soemarsono ternyata memiliki jawaban yang belum pernah saya dengar selama ini. Jawabannya ini juga tidak pernah diucapkan oleh siapa pun selama ini. ”Itu karena dia terus mengobarkan semangat rakyat lewat radio,” ujar Soemarsono. ”Itu dia lakukan sebagai tugas karena dia memang menjabat ketua bidang penerangan di PRI,” tambahnya.

PRI adalah singkatan Pemuda Republik Indonesia, sebuah organisasi yang menghimpun hampir seluruh kekuatan pemuda di Surabaya. Soemarsonolah ketua PRI itu. Ketika Bung Tomo membakar semangat kepahlawanan arek-arek Soroboyo melalui radio, Soemarsono sebagai ketua PRI terus menggerakkan rakyat di lapangan. Membakar semangat yang sama dari kampung ke kampung. Kalau istilah sekarang, Bung Tomo yang melakukan serangan udara dan Soemarsono yang menggelar serangan darat.

Selama ini, sesuai dengan yang ditulis di buku-buku, kita mengenal Bung Tomo sebagai ketua BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia). Bukan sebagai bagian penerangan PRI. ”Benar,” kata Soemarsono. ”Tapi, itu belakangan. Setelah dia semakin terkenal, kemudian dia mendirikan BPRI. BPRI itu berdiri belakangan,” ujarnya. Bahkan, menurut Soemarsono, tindakannya mendirikan BPRI itu sempat menjadi masalah. Membuat tokoh-tokoh pemuda Surabaya marah. Bung Tomo dianggap berusaha memecah belah kekuatan pemuda Surabaya.

Bung Tomo, kata Soemarsono, lantas ditangkap oleh pemuda-pemuda beringas itu. ”Lalu dibawa ke saya dengan maksud agar saya menjatuhkan hukuman kepadanya,” kata Soemarsono. ”Begitu tiba di rumah saya, Bung Tomo langsung duduk jongkok di depan saya. Minta nyawanya diselamatkan,” tambah Soemarsono. Kisah ini benar-benar baru bagi saya.

Saat itulah Soemarsono berusaha menenangkan para pemuda itu. Dia menjelaskan bahwa Bung Tomo tidak menyalahi aturan. Pendirian BPRI justru bisa menampung pemuda-pemuda yang masih di luar PRI, seperti tukang-tukang becak. Para pemuda beringas tersebut ternyata bisa menerima penjelasan Soemarsono. Bahkan, Soemarsono menyatakan bahwa Bung Tomo tetap sebagai ketua bidang penerangan PRI dan sekaligus diperbolehkan menjadi ketua BPRI. Maka, tidak ada lagi yang mencurigai Bung Tomo sebagai orang yang bergerak sendiri.

PRI sendiri didirikan pada 21 September 1945. Kurang dari dua bulan sebelum pertempuran 10 November Surabaya. Yakni, ketika hampir semua organisasi pemuda saat itu menyatakan meleburkan diri ke dalam PRI. Beberapa tokoh, seperti Soemarsono, Roeslan Widjajasastra, dan Bambang Kaslan menjadi pimpinannya, namun belum ada ketuanya.

Dua hari kemudian ada rapat AMI (Angkatan Muda Indonesia) yang diketuai Roeslan Abdoelgani di gedung GNI, Jalan Bubutan. Dalam rapat yang juga dihadiri seluruh eksponen pemuda Surabaya inilah Roeslan Abdoelgani mengundurkan diri. Dan, yang lebih penting, dia minta forum itu memilih Soemarsono sebagai ketua PRI. Maka, hari itu Soemarsono terpilih secara aklamasi. ”Saya sudah terlalu tua untuk memimpin organisasi pemuda ini,” ujar Roeslan Abdoelgani seperti ditirukan Soemarsono.

PRI memilih bermarkas di sebuah bangunan kecil di Jalan Wilhelminalaan. Hari itu juga papan nama jalan tersebut langsung mereka ganti dengan Jalan Merdeka (sekarang dikenal dengan nama Jalan Widodaren). Belakangan markas PRI pindah ke Hotel Simpang yang jauh lebih besar.

”Roeslan Abdoelgani itu, menurut saya, mundur bukan karena merasa terlalu tua. Tapi, dia itu orangnya memang agak penakut,” ujar Soemarsono seraya tersenyum. ”Kalau saya ini sudah sering bilang kepada istri bahwa saya bisa sewaktu-waktu mati. Harus diikhlaskan,” tambahnya.

Hari itu, 19 September 1945. Beberapa pemuda datang ke rumahnya di Jalan Peneleh. Rumah Soemarsono memang jadi pusat kegiatan pemuda Surabaya. Dia sudah jadi ketua Pemuda Minyak Surabaya, sebelum akhirnya jadi ketua Pemuda Republik Indonesia –organisasi yang menghimpun perkumpulan-perkumpulan pemuda di kota ini. Saat itu Surabaya memang menjadi kota minyak sehingga banyak buruh minyak yang jadi aktivis pergerakan. Para pemuda umumnya dari golongan kiri karena Soemarsono adalah tokoh PKI ilegal –sejak pemberontakan 1926 PKI dilarang hidup di Indonesia dan kelak baru hidup lagi pada 1950.

Tiba di rumah Soemarsono para pemuda itu melaporkan adanya bendera Belanda yang berkibar kembali di atas hotel tersebut. Rombongan pemuda yang ke rumah Soemarsono itu berjumlah sekitar 10 orang. Mereka menuntut agar Soemarsono mau bertindak. “Waktu itu di rumah saya juga lagi ada beberapa tokoh pemuda seperti Roeslan Widjajasastra,” kata Soemarsono mengenang.

Maka, dengan modal sekitar 10 orang itu Soemarsono mengajak mereka berjalan ke arah hotel untuk menurunkan bendera itu. Sepanjang perjalanana dari Peneleh ke Jalan Tunjungan mereka terus berteriak. Intinya mengajak orang-orang yang mereka lewati untuk bergabung bersama-sama ke Jalan Tunjungan. Tukang-tukang becak pun ikut. Kian lama jumlah yang bergabung kian banyak. Sampai di depan hotel jumlahnya sudah ratusan orang.

Menurut Soemarsono, mereka langsung masuk ke halaman hotel. Mereka melihat ada seorang petugas hotel yang berseragam sersan. Dia adalah tentara Inggris yang ditugaskan menjaga hotel. Kepada si sersan mereka berteriak-teriak sambil menudingkan tangan ke atas atap, ke arah bendera berkibar. Maksudnya agar si sersan segera menurunkan bendera tersebut.
“Turunkan bendera itu! Turunkan bendera itu….,” teriak mereka seperti ditirukan Soemarsono.

Si sersan tidak mau beranjak. “Dia hanya melongo saja. Rupanya dia tidak mengerti bahasa Indonesia sehingga tidak paham apa arti teriakan turunkan bendera itu…,” ujar Soemarsono.

Sesaat kemudian, dari dalam hotel muncullah seorang Belanda yang badannya seperti petinju. Besar dan kokoh. Belakangan diketahui bahwa dia adalah W.V.Ch. Ploegman, orang yang oleh Belanda ditugaskan kembali sebagai wali kota Surabaya. Sebagai wali kota sebenarnya dia sudah tidak berdaya. Surabaya sudah dikuasai pergerakan rakyat. Sambil keluar dari hotel, Ploegman mengayun-ayunkan tongkat kayu besar berwarna hitam. Maksudnya menakut-nakuti massa.

Melihat itu para pemuda mundur beberapa puluh meter. Mereka tertegun ketika tiba-tiba ada orang yang berani menghadapi dengan senjata yang diayun-ayunkan. Tapi, tidak lama para pemuda itu tertegun. Dalam suasana diam yang agak lama itu tiba-tiba mulai ada satu orang di bagian belakang yang berani berteriak ke arah Ploegman.

“Turunkan bendera itu,” teriaknya dari belakang. Pemuda yang lain juga mulai ada yang berani mengikuti teriakan itu. Kian lama teriakan tersebut semakin ramai. Ribut. Gaduh. Kian berani. Bahkan ada yang mulai berani melempar batu dan pecahan genteng ke arah Ploegman. Kian lama semakin banyak batu yang dilempar. Keberanian kolektif mereka meningkat. Mereka menyerbu lagi ke depan hotel.

Tiba-tiba, Ploegman berlumuran darah. Wali kota Surabaya itu terkapar. Perutnya ditusuk senjata tajam entah oleh siapa. Mungkin oleh seorang tukang becak yang bisa saja sebenarnya dia tidak tahu siapa Ploegman sebenarnya –kecuali bahwa orang itu hanyalah orang yang menyebalkan.
Berhasil merobohkan Ploegman, perasaan menang sudah menguasai mereka. Keberanian terus meningkat. Ada yang mencari tangga dan memasangnya di depan hotel. Puluhan orang mulai menaiki tangga itu menuju atap hotel. Kian lama kian banyak yang naik. Dari atas atap mereka naik lagi dan naik lagi. Menaiki tiang bendera dengan cara menginjak pundak temannya. Salah seorang di antara mereka lalu merobek bagian yang berwarna biru dan menyisakan warna merah dan putih.

Cerita pendaratan sekutu

Saya juga baru tahu dari Soemarsono tentang latar belakang sebenarnya mengapa pertempuran Surabaya dulu terjadi. Selama ini saya hanya tahu bahwa hari itu tentara Sekutu mendarat kembali di Surabaya, lalu disangka bahwa Belanda akan menjajah kembali Indonesia. Pemuda Surabaya tidak senang atas kenyataan itu, lalu terjadilah pertempuran dahsyat yang membuat Surabaya menjadi Kota Pahlawan itu.

Ternyata tentara Sekutu itu mendarat di Surabaya dengan cara baik-baik. Menurut Soemarsono -tokoh utama pertempuran Surabaya yang ternyata masih hidup dan berusia 88 tahun ini-, tentara Sekutu waktu itu mendarat dengan izin resmi dari pemerintah Indonesia. Juga diterima secara baik-baik oleh kekuatan pemuda Surabaya, yang di dalamnya Soemarsono menjadi ketua.

Sebelum tentara Sekutu mendarat, tiga utusan dari pemerintah pusat datang menemui Soemarsono. Salah seorang di antara mereka adalah pejabat Menteri Keamanan Salyo Hadikusumo (menteri keamanan yang sebenarnya adalah Suprijadi. Namun, sejak sebelum diangkat pun tidak ada yang tahu di mana pejuang dari Blitar itu berada). Ada juga Menteri Negara Sartono. Utusan Jakarta ini memberi tahu bahwa dalam waktu dekat tentara Sekutu akan mendarat di Surabaya.

Tujuan pendaratan itu baik: mereka akan mengurus tahanan-tahanan perang di masa lalu yang masih ada di penjara-penjara Surabaya. Yakni, ketika terjadi perang antara Jepang dan tentara Sekutu dengan kekalahan telak di pihak Jepang di seluruh Asia. Urusan ini, menurut ilmu hubungan internasional, disebut RAPWI -Repatriation of Allied Prisoners of War and Internees.

Maka, ketika tentara Sekutu mendarat, para pemuda Surabaya pun membantu. Mereka menyiapkan di mana saja Komisi Pengurusan Tawanan Perang Sekutu itu akan bermarkas. Salah satunya di Gedung Internatio -bangunan dua lantai yang kini berada di bagian barat Jembatan Merah Plaza itu. Di sinilah Brigjen Mallaby, komandan komisi itu, berkantor.

Menurut Soemarsono, kecurigaan mulai muncul setelah tiga hari tentara Sekutu berada di Surabaya. Lalu mulailah muncul rumor dan desas-desus: jangan-jangan Sekutu juga akan melucuti senjata yang secara luas kini berada di tangan mereka. Sebab, senjata-senjata itu dulu memang milik Jepang atau Belanda. Baik yang didapat dengan cara direbut maupun hasil dari tentara Sekutu yang ditembak. Dalam tiga hari itu, berita dari mulut ke mulut kian luas: kok tentara Sekutu berada di sudut-sudut Surabaya yang strategis.

Berdasarkan kecurigaan itulah pemuda Surabaya membuat keputusan untuk mendahului daripada didahului. Kekuatan pemuda Surabaya mulai menyerang pusat-pusat konsentrasi tentara Sekutu. Terjadilah perang selama tiga hari. Yakni 28, 29, dan 30 Oktober 1945.

”Perang ini perang besar. Ini perang melawan tentara Sekutu yang gagah berani, yang persenjataannya modern, yang baru saja memenangkan perang besar di seluruh Asia Timur/Tenggara,” ujar Soemarsono.

Dalam pertempuran itu, menurut Soemarsono, kekuatan pemuda Surabaya di atas angin. ”Saya yakin, dalam beberapa jam lagi kemenangan mutlak sudah bisa didapat,” ujar Soemarsono mengenang peristiwa 64 tahun lalu itu.

Sekutu sudah kewalahan. Buktinya, Mallaby menghubungi markas pusat Sekutu se-Asia Tenggara di Singapura. Mallaby minta atasannya itu mengusahakan genjatan senjata. ”Karena itu, kami sempat jengkel ketika Bung Karno minta pertempuran dihentikan,” ujar Soemarsono yang dalam usia 88 tahun ini semangatnya masih luar biasa.

Setelah menerima laporan dari Mallaby, komandan tertinggi tentara Sekutu di Singapura, D.C. Hawthorn, langsung terbang ke Jakarta. Yakni, untuk menemui Bung Karno dan Bung Hatta. Hawthorn minta diberlakukan gencatan senjata. Waktu itu Bung Karno belum genap tiga bulan menjadi presiden pertama Indonesia. Soemarsono tidak tahu apa kompensasi yang diberikan tentara Sekutu untuk tawaran gencatan senjata di Surabaya ini. Yang jelas, hari itu juga Bung Karno dan Bung Hatta langsung terbang ke Surabaya dengan pesawat dari Singapura tersebut.

Tiba di Surabaya Bung Karno langsung melakukan konvoi keliling kota. Bung Karno menyerukan agar tembak-menembak dihentikan. Bung Karno keliling kota seperti itu karena tidak tahu bagaimana cara mencari para pimpinan pemuda Surabaya. Mereka semua sedang berada di front yang berbeda-beda. Soemarsono, misalnya, lagi memimpin pasukan di Wonokromo, bagian selatan Kota Surabaya.

Soemarsono kaget ketika tiba-tiba mendengar seruan Bung Karno itu. ”Saya nyumpah-nyumpah dan marah-marah. Bagaimana ini? Perang sudah hampir menang, kok disuruh berhenti,” kisahnya.

Dari siaran itu Soemarsono juga tahu bahwa mobil konvoi presiden akan melewati Jalan Ngagel yang tidak jauh dari Wonokromo. Karena itu, dia pamit kepada pasukannya untuk mencegat konvoi Bung Karno di Ngagel. ”Saya berdiri di tengah jalan. Saya hentikan mobil yang membawa Bung Karno dan Bung Hatta. Konvoi itu berhenti. Mallaby juga ada dalam konvoi itu. Saya marah-marah kepada Bung Karno. Saya beri tahu Bung Karno bahwa sebentar lagi Inggris pasti kalah. Mengapa dihentikan begitu. Bung Karno diam saja sambil menunduk,” kenang Soemarsono.

Tidak lama kemudian, Soemarsono melihat Bung Karno menjawil Mr Amir Syarifuddin. Jabatan Amir kala itu adalah menteri keamanan rakyat. Jawilan Bung Karno itu maksudnya sebagai kode agar Amir turun dari mobil untuk menemui Soemarsono.

”Amir langsung merangkul pundak saya dan membisikkan kata-kata yang membuat saya lemas menyerah,” kata Soemarsono sambil memeragakan bagaimana Amir merangkul dirinya dengan cara dia merangkul Don Kardono, pemred harian INDOPOS Jakarta (Jawa Pos Group) yang bersama saya menemui Soemarsono pekan lalu.

Sambil merangkul Don Kardono, Soemarsono membisikkan kata-kata seperti gaya waktu Amir membisikkan kata-kata sakti itu kepadanya. Apa isi bisikan ”maut” itu? ”Marsono, ini sudah dirundingkan dengan kita-kita di Jakarta,” ujar Soemarsono menirukan bisikan Amir Syarifuddin. Melihat Soemarsono belum bisa menerima alasan itu, Amir menambahkan bisikannya dengan mengutip pepatah dalam bahasa Inggris. ”Not the battle. We have to win the war,” bisik Amir.

Dalam kamus militer, memenangkan pertempuran (battle) memang belum berarti memenangkan perang (war). Padahal, tujuan serangan yang sebenarnya adalah memenangkan perang dan bukan hanya untuk memenangkan pertempuran. Menurut teori ini, kalau perlu sebuah pasukan bisa memenangkan perang tanpa harus melakukan pertempuran.

Dalam setiap revolusi, kapan pun dan di mana pun, memang selalu ada konflik intern menyangkut strategi memenangkan perang. Para politisi sering lebih memilih jalan perundingan. Para pejuang di lapangan sering memilih jalan perang. Dua kelompok ini sering saling mengklaim dirinyalah yang benar. Jangankan dalam sebuah perang kemerdekaan sebuah negara. Dalam sebuah partai kecil pun perbedaan seperti itu tidak bisa dihindarkan. Di Partai Golkar saat ini, misalnya, pertentangan antara kelompok yang mau oposisi dan yang mau bergabung ke SBY saja serunya bukan main. ”Mendengar kata-kata Amir itu, saya langsung seperti Gatotkaca ilang gapite, lemes,” ujarnya. Maksudnya, Soemarsono kehilangan daya. Soemarsono memang sangat tunduk kepada Amir Syarifuddin. ”Kalau saja hari itu hanya Bung Karno yang meminta saya untuk menghentikan perang, saya tidak akan tunduk,” ujarnya. ”Tapi, Bung Karno juga tahu kelemahan saya. Karena itu, Bung Karno mengajak serta Amir Syarifuddin ke Surabaya,” tambahnya.

Soemarsono akhirnya tidak berdaya ketika justru diajak Amir untuk naik mobil ikut konvoi. Juga harus ikut menyerukan gencatan senjata. ”Mati aku ini,” katanya dalam hati ketika itu. Hari itu juga, 30 Oktober 1945, perundingan diadakan di kantor gubernur Jatim. ”Dalam perundingan itu Mallaby mengatakan ada sekitar 5.000 tentaranya yang hilang. Minta dikembalikan,” ujar Soemarsono mengenang. ”Saya langsung jawab. Kami kehilangan 20.000 orang. Apa bisa minta kembali?” imbuh Soemarsono.

Perundingan itu memang tidak memuaskan pihak Sekutu. Karena itu, 10 hari kemudian, 10 November 1945, ketika sudah berhasil konsolidasi, tentara Sekutu melakukan serangan hebat. Sekutu memborbardir Surabaya. ”Serangan 10 November itu pada dasarnya adalah serangan pembalasan. Luar biasa banyaknya korban jatuh. Karena itu, saya usul ke Bung Karno untuk menjadikan hari itu sebagai Hari Pahlawan. Bung Karno langsung setuju,” ujar Soemarsono.

Dengan mengusulkan penentuan Hari Pahlawan itu, Soemarsono bermaksud agar tidak ada satu tokoh pun yang ditetapkan jadi pahlawan dalam kaitan dengan perang Surabaya ini. Tidak juga dirinya. ”Ini perang rakyat Surabaya. Bukan perangnya satu orang,” ujar Soemarsono yang kini menjadi warga negara Australia itu.

Memangnya Dia Bisa Merobek Bendera Itu Sendirian

Setelah hampir 25 tahun tinggal di Sydney, Australia, Soemarsono sempat ke Surabaya. Tujuh tahun yang lalu. Yakni ketika dia ke Jakarta untuk menengok anak-anaknya. Kali ini dia ke Indonesia sebagai orang asing. Ia ingin tahu bagaimana keadaan Kota Surabaya. Kota yang pada 1945 melakukan pertempuran besar dan dialah salah seorang tokoh utamanya. Dia juga sempat ke Jalan Peneleh untuk melihat rumahnya yang bersejarah itu.
Rumah itu, tentu sudah berubah. Penghuninya sudah tidak dia kenal lagi. “Tapi pemilik rumah yang sekarang sangat baik. Saya diperbolehkan masuk. Dia juga merasa bangga bahwa rumahnya itu ternyata rumah yang bersejarah,” ujar Soemarsono menceritakan perjalanannya ke Surabaya itu.
Karena memang tidak ingin menonjolkan diri, waktu ke Surabaya itu Soemarsono tidak ingin menemui tokoh siapa pun. Dia hanya ingin mengenang pengalaman pribadinya sebagai orang biasa saat ini. Bahkan sebagai orang asing pula.

Dia ingin konsekuen pada pendirian lamanya agar jangan sampai ada satu atau dua orang saja yang mengklaim dirinya sebagai yang paling berjasa dalam pertempuran Surabaya yang bersejarah itu.

Karena itu, Soemarsono juga gelo ketika mengetahui ada orang yang ngotot minta diakui sebagai yang paling berjasa dalam peristiwa penyobekan bendera tiga warna di atas Hotel Oranye (kini Hotel Majapahit di Jalan Tunjungan) itu. Yakni peristiwa kemarahan pemuda Surabaya ketika melihat bendera Belanda (merah-putih-biru) berkibar kembali di tiang bendera di atas atap lobby hotel tersebut.

“Memangnya dia bisa merobek bendara itu sendirian. Kalau tidak ada orang-orang yang mau pundaknya dia injak, apakah dia bisa mencapai bendera itu” Kalau tidak ada orang yang ramai-ramai naik ke gedung itu, apakah dia bisa naik” Kalau tidak ada puluhan pemuda yang memenuhi halaman hotel itu sambil berteriak-teriak memaki Belanda, apakah mereka berani naik” Semua orang itu, ratusan orang itu, semua berjasa,” kata Soemarsono.

Hari itu, 19 September 1945. Beberapa pemuda datang ke rumahnya di Jalan Peneleh. Rumah Soemarsono memang jadi pusat kegiatan pemuda Surabaya. Dia sudah jadi ketua Pemuda Minyak Surabaya, sebelum akhirnya jadi ketua Pemuda Republik Indonesia –organisasi yang menghimpun perkumpulan-perkumpulan pemuda di kota ini. Saat itu Surabaya memang menjadi kota minyak sehingga banyak buruh minyak yang jadi aktivis pergerakan. Para pemuda umumnya dari golongan kiri karena Soemarsono adalah tokoh PKI ilegal –sejak pemberontakan 1926 PKI dilarang hidup di Indonesia dan kelak baru hidup lagi pada 1950.

Tiba di rumah Soemarsono para pemuda itu melaporkan adanya bendera Belanda yang berkibar kembali di atas hotel tersebut. Rombongan pemuda yang ke rumah Soemarsono itu berjumlah sekitar 10 orang. Mereka menuntut agar Soemarsono mau bertindak. “Waktu itu di rumah saya juga lagi ada beberapa tokoh pemuda seperti Roeslan Widjajasastra,” kata Soemarsono mengenang.

Maka, dengan modal sekitar 10 orang itu Soemarsono mengajak mereka berjalan ke arah hotel untuk menurunkan bendera itu. Sepanjang perjalanana dari Peneleh ke Jalan Tunjungan mereka terus berteriak. Intinya mengajak orang-orang yang mereka lewati untuk bergabung bersama-sama ke Jalan Tunjungan. Tukang-tukang becak pun ikut. Kian lama jumlah yang bergabung kian banyak. Sampai di depan hotel jumlahnya sudah ratusan orang.

Menurut Soemarsono, mereka langsung masuk ke halaman hotel. Mereka melihat ada seorang petugas hotel yang berseragam sersan. Dia adalah tentara Inggris yang ditugaskan menjaga hotel. Kepada si sersan mereka berteriak-teriak sambil menudingkan tangan ke atas atap, ke arah bendera berkibar. Maksudnya agar si sersan segera menurunkan bendera tersebut. “Turunkan bendera itu! Turunkan bendera itu….,” teriak mereka seperti ditirukan Soemarsono.

Si sersan tidak mau beranjak. “Dia hanya melongo saja. Rupanya dia tidak mengerti bahasa Indonesia sehingga tidak paham apa arti teriakan turunkan bendera itu…,” ujar Soemarsono.

Sesaat kemudian, dari dalam hotel muncullah seorang Belanda yang badannya seperti petinju. Besar dan kokoh. Belakangan diketahui bahwa dia adalah W.V.Ch. Ploegman, orang yang oleh Belanda ditugaskan kembali sebagai wali kota Surabaya. Sebagai wali kota sebenarnya dia sudah tidak berdaya. Surabaya sudah dikuasai pergerakan rakyat. Sambil keluar dari hotel, Ploegman mengayun-ayunkan tongkat kayu besar berwarna hitam. Maksudnya menakut-nakuti massa.

Melihat itu para pemuda mundur beberapa puluh meter. Mereka tertegun ketika tiba-tiba ada orang yang berani menghadapi dengan senjata yang diayun-ayunkan. Tapi, tidak lama para pemuda itu tertegun. Dalam suasana diam yang agak lama itu tiba-tiba mulai ada satu orang di bagian belakang yang berani berteriak ke arah Ploegman.

“Turunkan bendera itu,” teriaknya dari belakang. Pemuda yang lain juga mulai ada yang berani mengikuti teriakan itu. Kian lama teriakan tersebut semakin ramai. Ribut. Gaduh. Kian berani. Bahkan ada yang mulai berani melempar batu dan pecahan genteng ke arah Ploegman. Kian lama semakin banyak batu yang dilempar. Keberanian kolektif mereka meningkat. Mereka menyerbu lagi ke depan hotel.

Tiba-tiba, Ploegman berlumuran darah. Wali kota Surabaya itu terkapar. Perutnya ditusuk senjata tajam entah oleh siapa. Mungkin oleh seorang tukang becak yang bisa saja sebenarnya dia tidak tahu siapa Ploegman sebenarnya –kecuali bahwa orang itu hanyalah orang yang menyebalkan.
Berhasil merobohkan Ploegman, perasaan menang sudah menguasai mereka. Keberanian terus meningkat. Ada yang mencari tangga dan memasangnya di depan hotel. Puluhan orang mulai menaiki tangga itu menuju atap hotel. Kian lama kian banyak yang naik. Dari atas atap mereka naik lagi dan naik lagi. Menaiki tiang bendera dengan cara menginjak pundak temannya. Salah seorang di antara mereka lalu merobek bagian yang berwarna biru dan menyisakan warna merah dan putih.

Banyak bagian dari kisah itu yang juga baru bagi saya. Saya beruntung sempat bertemu tokoh yang merasa tidak jadi tokoh ini. Apalagi Soemarsono masih bisa menceritakan apa saja peranannya sebelum kemerdekaan dan setelah proklamasi kemerdekaan. Juga bagaimana dia kemudian memimpin peristiwa Madiun 1948 bersama Musso dan Amir Syarifuddin –yang antara lain membuat banyak keluarga saya dibunuh PKI.

Dalam perbincangan selama lebih dari empat jam itu saya juga bisa bertanya banyak hal mengenai bagaimana dia melawan pemberontak Simbolon di Sumut. Lalu, pada 1965 ditangkap dan dipenjarakan selama 9 tahun karena dituduh terlibat G 30 S/PKI. Juga, bagaimana dia memutuskan untuk pindah ke Australia dan menjadi warga negara asing. Saya akan menuliskannya dalam serial yang lain beberapa hari mendatang.

Bung Tomo, Tokoh Pakawan 10 November

MESKIPUN tidak menyelesaikan pendidikan formal. Bung Tomo sukses di organisasi kepanduan, sehingga dia meraih peringkat Pandu Garuda.

Bung Tomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan.

Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO. Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.

Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya.
Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia. Sayang, dalam catatan Wikipedia atau pelacakan data lainnya, sulit ditemukan siapa dua sosok lainnya peraih Pandu Garuda itu.

Tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby

Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober 1945, pimpinan sipil dan militer pihak Indonesia, serta pimpinan militer Inggris bersama-sama keliling kota dengan iring-iringan mobil, untuk menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6 di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio yang masih ada permasalahan/tembak-menembak.

Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, pos pertahanan Inggris terakhir yang bermasalah. Ketika rombongan tiba di lokasi tersebut, nampak bahwa gedung tersebut dikepung oleh ratusan pemuda. Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar kendaraan dan meneriakkan kepada massa, supaya menghentikan tembak-menembak.

Kapten Shaw, Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke gedung untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung, hasil perundingan antara Inggris dengan Indonesia. Mallaby ada di dalam mobil yang diparkir di depan Gedung Internatio. Beberapa saat setelah rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung, dan tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung sekitar dua jam. Setelah tembak-menembak dapat dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby sendiri ditemukan telah tewas.

Ada dua kejadian pada tanggal 30 Oktober 1945, yang pada waktu itu dilemparkan oleh Inggris ke pihak Indonesia, sebagai yang bertanggung jawab, dan kemudian dijadikan alasan Mansergh untuk “menghukum para ekstremis” dengan mengeluarkan ultimatum tanggal 9 November 1945:

  1. Orang-orang Indonesia memulai penembakan, dan dengan demikian telah melanggar gencatan senjata (truce),
  2. Orang-orang Indonesia membunuh Brigadier Mallaby.

Tewasnya Mallaby memang sangat kontroversial, tetapi mengenai siapa yang memulai menembak, di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian tersebut justru datangnya dari pihak Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa perwira Inggris yang diberikan kepada beberapa pihak.

Yang paling menarik adalah yang disampaikan kepada Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh (Labour). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen (House of Commons) Tom Driberg, menyampaikan:

"... .. beberapa laporan pers dari Indonesia telah sepenuhnya bertanggung jawab. Secara khusus, saya telah belajar dari pejabat yang baru kembali bahwa beberapa cerita yang telah dikemukakan, tidak hanya di koran, tapi, aku minta maaf untuk mengatakan, dari Pemerintah Front Bench dalam bukunya House, telah sangat jauh dari prasangka akurat dan memiliki innecessarily disampaikan dan menyangkut meratapi kematian Brigadir Mallaby. Yang diumumkan kepada kami sebagai pembunuhan busuk, dan kami menerima seperti itu. Saya telah belajar dari petugas yang hadir ketika itu terjadi rincian yang tepat dan benar-benar jelas bahwa Brigadir Mallaby tidak dibunuh tapi terhormat tewas dalam aksi ... .... Insiden ini agak bingung-sebagai insiden seperti ini-tapi itu terjadi di dan dekat Union Square di Surabaya. Sudah ada diskusi tentang gencatan senjata sebelumnya dalam sehari. Sebuah kerumunan besar massa Indonesia-jika Anda suka-telah berkumpul di lapangan dan dalam keadaan agak bersemangat.
Sekitar 20 India, di sebuah gedung di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa. Brigadir Mallaby keluar dari diskusi, berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak ke India untuk gencatan senjata. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam proses hukum, memerintahkan India untuk membuka api lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua Guns Bren dan massa tersebar dan pergi untuk menutupi, kemudian perang pecah kembali dengan sungguh-sungguh baik. Hal ini terlihat bahwa ketika Brigadir Mallaby memberikan perintah untuk membuka api lagi, gencatan senjata sebenarnya rusak, pada setiap tingkat lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun tidak benar-benar yakin apakah dia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan pada dirinya.
Saya tidak berpikir ini berjumlah tuduhan pembunuhan busuk ... .. karena informasi yang saya datang benar-benar di tangan pertama dari seorang perwira Inggris yang sebenarnya di tempat pada saat, yang niat jujur aku tidak punya alasan untuk pertanyaan ... .. "

Di Sini Tom Driberg meragukan, bahwa Mallaby terbunuh Dibuat Orang Indonesia.
Dia menyatakan:
"... Itu tidak benar-benar yakin apakah dia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya;.. Yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dia"

Di sini Tom Driberg meragukan, bahwa Mallaby terbunuh oleh orang Indonesia. Dia menyatakan:

"... Itu tidak benar-benar yakin apakah dia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya;.. Yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dia"

Selanjutnya dia juga membantah, bahwa tewasnya Mallaby akibat “dibunuh secara licik” (foully murdered). Kelihatannya pihak pimpinan tentara Inggris -untuk membangkitkan/memperkuat rasa antipati terhadap Indonesia- rela mendegradasi kematian seorang perwira tinggi menjadi “dibunuh secara licik” daripada menyatakan “killed in action” –tewas dalam pertempuran- yang menjadi kehormatan bagi setiap prajurit.

Juga penuturan Venu K. Gopal, waktu itu berpangkat Mayor, yang adalah Komandan Kompi D, Batalion 6, Mahratta. Kompi D ini mengambil tempat pertahanan di Gedung Internatio. Tanggal 8 Agustus 1974, dia menulis kepada J.G.A. Parrot antara lain :

"Ijinkan saya memberikan beberapa latar belakang. "D" Coy telah diserang off dan pada dan sudah korban. Penembakan datang dari bangunan lain di alun-alun dan oleh dan besar kami bisa menampungnya. Kita bisa, bagaimanapun, melihat bahwa orang-orang bersenjata melarang semua keluar dari alun-alun.
Sementara itu Indonesia bersenjata menyerbu ke beranda gedung dan aku harus terus terang mengatakan kepada mereka bahwa saya akan api jika mereka mulai menekan ke dalam gedung. Pada saat ini saya tidak bisa melihat Brigade Mallaby atau LO (Liaison Officers) karena orang banyak di beranda.
Tepat pada saat itu Kapten Shaw dan Kundan (saya tidak tahu nama mereka pada waktu itu) berusaha untuk masuk ke gedung namun dicegah. Kundan kemudian berteriak kepada orang banyak bahwa ia akan membuat kita menyerah dan ia dan Capt.Shaw kemudian diperbolehkan masuk ke gedung jika mereka mengambil seorang perwira bahasa Indonesia dengan mereka. Aku membiarkan mereka berharap untuk bermain untuk waktu. Setelah sedikit waktu Kundan keluar dari gedung, meninggalkan Kapten Shaw dan Pejabat Indonesia di belakang.
Segera setelah itu orang-orang bersenjata mulai mendorong dan aku ditinggalkan tidak memiliki pilihan tetapi untuk membuka api. Keputusan adalah milikku dan milikku sendiri.
Kapten Smith benar ketika ia mengatakan bahwa BM (Mallaby-pen.) tidak memberikan perintah kepada Kapten Shaw .. "

Dengan pengakuan Mayor Gopal, Komandan Kompi D yang bertahan di Gedung Internatio, sekarang terbukti, bahwa yang memulai menembak adalah pihak Inggris; tetapi kelihatannya dia masih ingin melindungi bekas atasannya dengan menggarisbawahi, bahwa perintah menembak tersebut adalah keputusannya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan kesaksian T.D. Kundan, yang diperkuat dengan kesaksian seorang perwira Inggris melalui Tom Driberg.

Dengan pengakuan ini terlihat jelas, bahwa Inggris pada waktu itu memutar balikkan fakta dan menuduh bahwa gencatan senjata telah dilanggar pihak Indonesia (the truce which had been broken). Di dalam situasi tegang bunyi ledakan ataupun tembakan akan menimbulkan kepanikan pada kelompok-kelompok yang masih diliputi suasana tempur, sehingga tembakan tersebut segera dibalas; maka pertempuran di seputar Gedung Internatio pun pecah lagi.

Dari pengakuan kedua perwira Inggris tersebut telah jelas, bahwa pemicu terjadinya tembak-menembak adalah pihak Inggris sendiri. Dugaan ini sebenarnya tepat, bila disimak jalan pikiran Mallaby, seperti dituliskan oleh Capt. Smith:

"... Dia (Mallaby, red.) Tidak percaya pada aman-melakukan sejauh itu diterapkan kepada kami, tetapi berpikir bahwa beberapa setidaknya Perusahaan bisa lolos. Oleh Kapten Shaw dikirim ke dalam gedung untuk memberikan perintah yang diperlukan ... .. "

Sebelum itu, menurut Smith, telah terjadi perbedaan pendapat antara Kapten Shaw dan Mallaby mengenai permintaan para pemuda Indonesia, agar tentara Inggris meninggalkan persenjataan mereka di dalam gedung. Awalnya, Kapten Shaw menyetujui permintaan ini, tetapi Mallaby kemudian membatalkannya. Smith :

"... Akhirnya, massa menuntut agar pasukan dalam membangun meletakkan (sic) down senjata mereka dan berbaris (sic) keluar: mereka dan kita (sic) dijamin safeconduct kembali ke lapangan udara. The Brigadir tegas menolak untuk mempertimbangkan proposal ini. Setelah tekanan lebih lanjut, bagaimanapun, Capt.Shaw, yang dikenal dengan beberapa indonesia melalui pekerjaannya sebagai FSO, dan yang telah yang patut sejak kedatangan kami di Surabaya, setuju dengan syarat tanggung jawab sendiri. The Brigadir sekaligus countemanded ini ... ... ... "

Uraian Tom Driberg di Parlemen Inggris (House of Commons) kelihatannya keterangannya diperoleh dari Kapten Shaw.

Kemudian tuduhan kedua, bahwa orang Indonesia “secara licik membunuh Mallaby”, perlu diteliti lebih lanjut. Di pihak Indonesia banyak orang mengaku bahwa dialah yang menembak Mallaby. Hj. Lukitaningsih I. Rajamin-Supandhan mencatat, ada sekitar 12 orang yang mengaku sebagai yang menembak Mallaby. Namun menurut penilaian beberapa pelaku sejarah, dari sejumlah keterangan yang diberikan, cerita yang benar kemungkinan besar yang disampaikan oleh Abdul Azis. (Lihat: Barlan Setiadijaya, 10 November 1945…., hlm. 429-435.) Dul Arnowo mencatat laporan seorang saksi mata, Ali Harun, yang kemudian diteruskan ke Presiden Sukarno. Surat tersebut dibawa oleh Kolonel dr. W. Hutagalung ke Jakarta, dan diserahkan langsung kepada Presiden Sukarno pada tanggal 8 November 1945.

Dari berbagai penuturan, memang benar adanya penembakan dengan menggunakan pistol oleh seorang pemuda Indonesia ke arah Mallaby, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memastikan, bahwa Mallaby memang tewas akibat tembakan tersebut. Yang menarik untuk dicermati adalah pengakuan Kapten R.C. Smith dari Batalyon 6, Resimen Mahratta, yang pada waktu itu menjabat sebagai Liaison Officer Brigade 49. Tanggal 31 Oktober, dia memberikan laporannya yang pertama, kemudian pada bulan Februari, sehubungan dengan keterangan Tom Driberg di House of Commons. Laporan Smith dimuat oleh J.G.A. Parrot, dalam analisisnya, Who Killed Brigadier Mallaby? Kapten R.C. Smith menulis:

"Laporan oleh Kapten R.C. Smith.

Pada sekitar 1230 jam. pada tanggal 30 Oktober, Capt T.L. Laughland dan aku diperintahkan oleh Kolonel LHOPugh, DSO, 2i / c (wakil komandan) dari BDE, untuk melanjutkan ke kantor-kantor pemerintah, di mana kita masing-masing mengumpulkan perwakilan Indonesia.. Dari sana salah satu dari kami adalah untuk pergi ke utara, dan selatan lainnya, melalui kota, dan mencoba membujuk massa untuk kembali ke barak mereka. Brigadir Mallaby saat ini dalam konferensi dengan Gubernur di Kantor Pemerintah.
Setibanya di sana, kami diberitahu oleh Brigadir bahwa Indonesia telah menolak untuk mengobati dengan siapapun kecuali dia. Dengan demikian kami berangkat dengan Brigadir dan FSO (Field Security Officer), Kapten Shaw, ditambah para pemimpin berbagai pihak, di beberapa mobil, yang terkemuka yang mengibarkan bendera putih.
Tempat pertama yang kami pergi adalah sebuah bangunan besar sekitar 150 meter sebelah barat Sungai Kali Mas, yang membentang dari utara dan selatan melalui kota. Salah satu Coy dari 6 Mahrattas telah mengalami bertengkar sangat kaku dalam bangunan ini terhadap sekitar lima ratus Indonesia, dan telah dalam kesulitan.
Pada saat kedatangan kami di sana, massa dikumpulkan di sekeliling mobil, dan para pemimpin berbagai pihak berpidato kepada mereka, dalam upaya untuk membujuk mereka untuk kembali ke barak mereka.
Pidato-pidato pada awalnya cukup diterima dengan baik, dan janji-janji yang perlu diberikan.
Kami kemudian masuk ke mobil dan kami berangkat ke posisi berikutnya. Kami hanya pergi sekitar 100 meter ketika kami dihentikan oleh massa sekitar 20 meter dari Kali Mas. Sejak saat itu situasi dengan cepat memburuk. Para pemimpin massa mulai menghasut massa, dan para pemimpin partai secara bertahap kehilangan kendali. Massa, yang sampai saat itu tampak cukup ramah terhadap kita, menjadi jelas mengancam: pedang yang melambai, dan pistol menunjuk pada kami dan kami ditinggalkan dengan sedikit keraguan untuk niat mereka.
Akhirnya, massa menuntut agar pasukan dalam membangun meletakkan (sic) down senjata mereka dan berbaris (sic) keluar: mereka dan kita (sic) dijamin aman melakukan-kembali ke lapangan udara. The Brigadir tegas menolak untuk mempertimbangkan proposal ini. Setelah tekanan lebih lanjut, bagaimanapun, Capt.Shaw, yang dikenal dengan beberapa indonesia melalui pekerjaannya sebagai FSO, dan yang berada di bawah yang patut sejak kedatangan kami di Surabaya, setuju dengan syarat tanggung jawab sendiri. The Brigadir sekaligus countemanded ini: pada pertimbangan lebih lanjut, ia memutuskan bahwa perusahaan telah begitu buruk di posisi sebelumnya, bahwa pertempuran lebih lanjut akan menyebabkan mereka yang dihapuskan.
Ia tidak percaya dalam melakukan-aman di sejauh diterapkan kepada kami, tetapi berpikir bahwa beberapa setidaknya perusahaan bisa lolos. Oleh Kapten Shaw dikirim ke dalam gedung untuk memberikan perintah yang diperlukan.
Sisanya dari kami dilucuti - kecuali untuk sebuah granat yang Kapten Laughland berhasil menjaga tersembunyi - dan dibuat untuk duduk di salah satu mobil.
Brigadir berada di sisi terdekat ke Kali Mas, Capt Laughland di tengah, dan saya sendiri di luar terdekat ke gedung di mana pasukan kami.
Ketika Kapten Shaw masuk ke gedung, Indonesia membawa sebuah senapan mesin untuk menutup pintu masuk. Dia dan komandan perusahaan memutuskan bahwa setiap upaya untuk berjalan keluar tak bersenjata akan menyebabkan pembantaian dan perintah untuk melepaskan tembakan diberikan.
Segera setelah penembakan dimulai, kami bertiga yang berada di mobil berjongkok di lantai sejauh mungkin. Seorang Indonesia datang ke jendela Brigadir dengan senapan. Dia menembakkan empat tembakan di tiga dari kami, yang semuanya tidak terjawab. Ia pergi sementara kita shammed mati. Pertempuran berlangsung selama sekitar dua setengah jam, untuk sekitar 2030 jam, dimana waktu itu gelap. Pada akhir waktu itu, tembakan mereda sampai batas tertentu, dan kita bisa mendengar teriakan seolah-olah Indonesia sedang dikumpulkan. Dua di antaranya datang ke mobil dan berusaha untuk mengusir itu pergi. Yang gagal dan salah satu dari mereka membuka pintu belakang di samping Brigadir itu. The Brigadir bergerak, dan karena mereka melihat dari itu, bahwa ia masih hidup, ia berbicara kepada mereka dan meminta untuk dibawa ke salah satu pemimpin partai. Kedua orang Indonesia pergi untuk membahas ini, dan salah satu dari mereka kembali ke pintu depan di samping Brigadir itu. The Brigadir berbicara kepadanya lagi, Indonesia menjawab, lalu tiba-tiba mengulurkan tangan dalam melalui jendela depan, dan menembak Brigadir. Butuh dari lima belas detik setengah menit untuk Brigadir untuk mati, tetapi dari kebisingan ia pada akhirnya, sama sekali tidak ada keraguan bahwa ia sudah mati. (Catatan dari Parrot: Ini adalah pertama kalinya bahwa rincian saat-saat terakhir Brigadir Mallaby telah dibuat publik Dalam laporan kedua Smith menawarkan penjelasan berikut:. "Dalam laporan yang dibuat oleh Capt.Laughland dan saya sendiri pagi berikutnya kami menyatakan bahwa Brigadir tewas seketika ini dilakukan dalam rangka luang perasaan keluarga.. ")
Segera setelah ia dipecat, yang bahasa Indonesia merunduk di samping mobil, dan tinggal di sana sampai setelah Brigadir sudah mati. Aku mengambil pin dari granat yang Capt.Laughland sebelumnya dilewatkan ke saya, dan menunggu. The Indonesia muncul lagi, dan melepaskan tembakan lain yang menyerempet bahu Laughland's Capt. Aku melepaskan tuas granat itu, diadakan selama dua detik untuk memastikan tidak dikembalikan dan melemparkannya keluar dari pintu yang terbuka oleh tubuh Brigadir's. Segera setelah itu meledak, Kapten Laughland dan aku keluar dari pintu di sisi saya mobil, menunggu untuk waktu yang singkat, kemudian berlari mengitari mobil dan menyelam ke Kali Mas. Ketika dua orang Indonesia di sisi mobil tidak berusaha untuk mengganggu dengan kami dianggap bahwa mereka dibunuh oleh granat-yang juga mengatur tempat duduk belakang mobil terbakar. Setelah lima jam dalam Kali Mas, kami berhasil mencapai pasukan kami di daerah Dock. "

Keterangan Smith ini a.l. menguatkan penjelasan Gopal, bahwa memang benar pihak Inggris yang memulai penembakan. Kesaksian Smith ini mirip dengan keterangan Abdul Azis; dan ternyata dia tidak mati seperti dugaan Smith.

Sehubungan dengan penembakan dengan senapan yang terjadi sebelum penembakan terhadap Mallaby, dalam surat kepada Parrot tertanggal 23 November 1973, Smith menulis antara lain:

"Saya tidak tahu apa hapenned pada empat tembakan dari penembak dgn senapan tersebut. Dia mendekati mobil dari kiri (sisi Brigadiers) dengan senapan di siap, dan melihat kami bertiga. Saya tidak malu untuk mengatakan pada titik ini saya menutup mata saya dan mulai menghitung tembakan!
Saya pikir kami bertiga sama-sama terkejut menemukan diri kita sendiri maupun yang lain hidup setelah itu! "

Tentu sangat luar biasa, bahwa menembak tiga orang yang sedang duduk di dalam mobil yang sempit dengan empat tembakan, namun tak satupun yang mengena. Hal ini menunjukkan, bahwa dapat dipastikan, pemilik senapan itu baru pertama kali menembak, sehingga menembak tiga orang dengan jarak mungkin paling tinggi 2 meter, empat tembakan meleset semua.

Mengenai ciri-ciri penembak Mallaby, dalam surat kepada Parrot tanggal 20 Februari 1974, Smith menulis:

"... Di indonesia yang membunuh Brigadir adalah seorang anak muda sekitar 16 atau 17 kira-kira, tapi terlalu gelap untuk melihat apakah ia mengenakan seragam apapun. senjata ini merupakan pistol otomatis ... "

Kemudian pada 20 Februari 1974, Smith menulis kepada Parrot yang isinya antara lain:

"Saya tidak ingat percakapan yang penafsir India melaporkan dan sementara saya jelas tidak bisa menyatakan bahwa saya mendengar segala sesuatu yang happenned, saya rasa saya harus ingat ini, jika tidak sekarang setelah 30 tahun, tentu pada saat saya menulis saya laporan. Namun, dalam keadilan semua, saya harus mengatakan bahwa ada saat-saat ketika perhatian saya terganggu dari Brigadir sendiri. Misalnya, saya ingat menghabiskan waktu untuk mencoba meyakinkan sangat marah muda Indonesia bahwa saya pribadi tidak bertanggung jawab atas kematian saudaranya.
Kembali ke laporan saya, posisi kita semua sangat erat gouped sekitar satu mobil sehingga hanya ada masalah kaki sangat sedikit di antara kita.
Oleh karena itu, Brigadir Mallaby pasti mampu mendengar ketika Kapten Shaw menyetujui tuntutan massa, itu sebabnya ia bisa membatalkan segera. Seperti yang saya katakan, ia kemudian berubah pikiran dengan harapan bahwa beberapa pria setidaknya bisa mencapai keselamatan, tetapi perintah yang ia berikan Kapten Shaw adalah bahwa pasukan dalam membangun harus meletakkan senjata mereka dan keluar tidak bersenjata, di harapan aman-perilaku.
Saya pasti tidak mendengar saran bahwa mereka harus diperintahkan untuk melepaskan tembakan setelah jangka waktu tertentu telah berlalu.
Satu hal yang selalu cukup mapan dalam ingatan saya adalah bahwa perintah untuk menembak diberikan oleh Kapten Shaw sekali ia masuk ke gedung. "

Yang perlu diragukan di sini adalah dugaan Smith, bahwa Mallaby tewas sebagai akibat tembakan pistol pemuda Indonesia. Seperti dalam tulisannya, dia mengatakan bahwa pada saat itu sekitar pukul 20.30 dan keadaan gelap. Memang aliran listrik di daerah tersebut telah diputus oleh pihak Indonesia. Dia hanya mengatakan:
“…berdasarkan suara yang didengar dari arah Mallaby, dia yakin bahwa Mallaby telah tewas 15 – 30 detik setelah ditembak dengan pistol…”

Selain itu dia juga mengakui, bahwa granat yang dilemparkannya melewati tubuh Mallaby telah mengakibatkan terbakarnya jok belakang mobil mereka, artinya tempat Mallaby duduk.

Menurut pemeriksaan di rumah sakit, jenazah Mallaby sangat sulit dikenali, karena hangus dan hancur. Dia dikenali melalui tanda bekas jam tangan di kedua lengannya, karena Mallaby dikenal dengan kebiasaannya untuk memakai dua jam tangan; jadi bukan identifikasi wajah atau ciri-ciri tubuh lain. Hal ini disampaikan oleh dr. Sugiri, kepada Kolonel dr. W. Hutagalung.

Seandainya keterangan Smith benar, bahwa Mallaby tidak memberikan perintah untuk memulai menembak, bahkan sebaliknya, yaitu menginstruksikan Kapten Shaw untuk memerintahkan tentara Inggris yang di dalam gedung agar mereka meletakkan senjata dan ke luar gedung tanpa senjata, maka telah terjadi pembangkangan yang berakibat fatal, yaitu perintah dari komandan kompi, Mayor Gopal, untuk memulai menembak. Dilihat dari sudut mana pun, timbulnya tembak-menembak yang berakibat tewasnya Mallaby, adalah kesalahan tentara Inggris.

Mengenai tuduhan bahwa Mallaby tewas akibat tembakan pistol, sangat diragukan. Jelas untuk membela diri, Smith dan Laughland harus menyatakan dahulu bahwa Mallaby telah tewas ketika Smith melemparkan granat, yang kemudian justru membakar bagian belakang mobil yang mereka dan Mallaby tumpangi. Beberapa saksi mata di pihak Indonesia mengatakan bahwa mobil Mallaby meledak akibat granat tersebut sehingga dengan demikian, boleh dikatakan Mallaby tewas karena kesalahan pihak Inggris sendiri. Dari kronologi kejadian dapat disimpulkan, bahwa Mallaby tewas karena tembak-menembak berkobar lagi.

Yang sangat menarik untuk dicermati sehubungan dengan pelemparan granat oleh Kapten Smith, adalah kesaksian Imam Sutrisno Trisnaningprojo, seorang pemuda berpangkat kapten, mantan anggota PETA. Trisnaningprojo ikut dalam iring-iringan mobil dalam rangka penyebarluasan hasil kesepakatan Sukarno-Hawthorn. Bahwa Smith adalah orang yang melemparkan granat yang mengakibatkan mobil yang ditumpangi Mallaby terbakar, diakui oleh Smith sendiri, tetapi Trisnaningprodjo menuturkan, bahwa Smith tidak berada di dalam mobil bersama Mallaby, melainkan bersama Laughland di luar mobil ketika terjadi penembakan terhadap Mallaby. Trisnaningprojo melihat, Smith berada di dekat gedung dan melemparkan granat ke arah pemuda yang menembak Mallaby, tetapi granat meledak di sebelah mobil Mallaby yang pintu belakangnya terbuka. Jadi, Captain Smith melempar granat tidak dari dalam mobil, melainkan dari luar mobil. Ini berarti bahwa tidak ada yang mengetahui kondisi Mallaby setelah penembakan dari pemuda Indonesia tersebut, apakah terluka atau memang telah tewas seperti penuturan Smith.

Baik dari kesaksian Smith, maupun keterangan Trisnaningprojo yang dilengkapi sketsa lokasi pada saat kejadian, pemuda Indonesia menembak dengan pistol ke arah Mallaby melalui jendela depan di sisi kiri mobil, sedangkan Mallaby –masih menurut Smith- duduk di jok belakang, di sisi paling kiri. Dari posisi pemuda Indonesia tersebut, walaupun dia menggunakan tangan kiri, kemungkinan besar bagian tubuh Mallaby sebelah kanan yang akan terkena tembakan, dan ini biasanya tidak mematikan. Berbeda, apabila yang terkena adalah tubuh bagian kiri, di bagian jantung.

Di samping itu, juga tidak ada yang bisa memastikan, bahwa tembakan pemuda tersebut benar mengenai sasaran karena sebelumnya -juga menurut Smith- ketika bertiga masih duduk di bagian belakang mobil, ada yang menembak ke arah mereka dengan senapan sebanyak empat kali, namun tak satu peluru pun yang mengenai mereka. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pemuda yang menembak dengan pistol, juga baru pertama kali memegang pistol, sehingga belum mahir menggunakannya.

Ketika diwawancarai oleh Ben Anderson pada tanggal 13 Agustus 1962, Dul Arnowo menyatakan, bahwa dia yakin Mallaby secara tidak sengaja, telah terbunuh oleh anak buahnya sendiri.

Dalam laporan rahasia kepada atasannya, Kolonel Laurens van der Post mantan Gubernur Militer Inggris di Batavia/Jakarta tahun 1945, menuliskan (Sir Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray, London, 1996):

"Rincian apa happenned di Sourabaya tidak benar-benar relevan dengan kajian ini tetapi interresting bahwa bukti yang sangat terbaru menunjukkan bahwa Mallaby Murder, jauh dari premiditatet menjadi atau pelanggaran disengaja iman, lebih disebabkan oleh kebingungan tak terlukiskan dan saraf kegembiraan semua orang di kota. Apakah Jenderal Hawthorn, Jenderal Perwira Komandan Jawa pada saat yang sama, telah tepat Negeri Sipil dan pejabat politik stafnya untuk merancang proklamasi malang baginya dan untuk menjaga [dalam] menghubungi kontinyu dan informasi dengan populasi, kisah Sourabaya mungkin telah berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar